Laman

Rabu, 30 Maret 2011

Kebudayaan Irian Jaya

Kebudayaan Irian Jaya

Kata Pengantar

Rasa syukur yang dalam aku sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah Allah SWT, karena berkat kemurahan-Nya tulisan ini dalam tugas IBD dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam tulisan ini kami membahas tentang “kebudayaan irian jaya”
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya kebudayaan betawi . Rasa terima kasih Aku persembahkan kepada kedua orang tua aku yang senanitasa memberikan dukungan dan doanya untuk aku yang tidak pernah putus, keluarga yang memberikan motivasi, dosen dan guru-guru yang memberikan ilmu dan pengetahuannya serta teman-teman yang telah membantu.

1.      Identifikasi

Kebudayaan penduduk Irian Jaya tidak merupakan suatu kesatuan, tapi beraneka ragam. Pada umumnya dapat dibedakan dari penduduk cendrawasih, penduduk rawa-rawa di daerah pantai utara, penduduk pegunungan Jaya Wijaya, penduduk di sungai dan rawa di bagian selatan dan penduduk daerah sabana di bagian selatan. Dan ada pula berbagai daerah kebudayaan yang berbeda di Papua Nugini.
Ada bahasa Irian Jaya yang termasuk keluarga bahasa Melanesia, disamping itu ada juga bahasa Irian. Keluarga bahasa-bahasa Irian tersebut dapat dibagi menjadi beberapa keluarga khusus dan yang satu dengan yang lain tak ada sangkut pautnya. Terutama Irian Jaya bagian Teluk Cendrawasih dan daerah pantai utara. Di daerah tersebut ada bahasa yang hanya diucapkan 100 orang bahkan ada bahasa yang lebih kecil lagi.
Gejala aneka warna extrem dari kebudayaan di Irian itu dapat dikembalikan jauh ke dalam zaman Prehiston, bangsa yang asal dari daerah yang satu dengan yang lain berbeda, datang dan menduduki pulau untuk tetap tinggal terpisah satu dengan yang lain karena isolasi geografis. Karena itu orang Mimika, orang Asmat atau orang Marindanim, pada dasarnya amat berbeda dengan orang Mori atau orang Dani di Pegunungan Jaya Wijaya, atau dengan orang Biak atau dengan orang Waropen di Teluk Cendrawasih dan amat berbeda pula dengan orang Tor atau orang Bgu di daerah pantai utara.
Sebagian dari penduduk desa-desa pantai tersebut mula-mula berasal dari daerah –daerah pegunungan di pedalaman. Banyak di mereka telah turun ke pantai sejak lebih dari 3 perempat abad yang lalu. Gerak migrasi penduduk ke arah hilir sungai-sungai yang sampai sekarang masih berlangsung terus menerus. Adapun arah perpindahan seperti orang Mander, Bonerif, Biyu, Daranto, Segeir, Bora-bora, Waf dan lain lain memang mengikuti arah aliran sungai.

2. Bentuk Desa dan Pola Perkampungan

Rumah di desa Daerah Pantai Utara merupakan suatu bangunan persegi panjang. Di atas tiang-tiang dengan tinggi keseluruhan adalah 4,50 meter, dengan didalamnya satu-dua ruangan lain untuk tempat tidur. Rangka rumah dibuat dari balok-balok dengan tali rotan; dinding-dinding terbuat / terdiri dari tangkai-tangkai kering lurus panjang dari daun sagu yang disusun sejajar rapi dan diikat dengan tali rotan juga, dinding tersebut dengan nama Ambon-nya dinding gaba-gaba. Lantai terdiri dari srip-strip panjang dari kulit pohon bakau, yang disusun rapi dan bercelah hampir 1 meter yang bisa menjobloskan kaki. Penempatan rumah baru menurut adat istiadat Pantai Utara pada umumnya memerlukan pesta besar, bernama nuanyadedk dengan adanya penukaran pemberian antara kerabat isteri si penghuni dengan kerabatnya sendiri yang menjadi tamu pada upacara tersebut.

3. Mata Pencaharian Hidup

Mata pencaharian hidup orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Dahulu rupanya ada kelompok kekerabatan unilineral yang menduduki suatu wilayah tertentu yang mempunayi konsep yang tegas mengenai batas-batas hutan sgunya, tapi lambat laun kedepan orang-orang melupakan batas-batas tersebut. Yang menjadi pegangan orang ialah hutan dimana ayahnya biasa mengambil sagu. Pohon setelah tumbang dikuliti dan terasnya yang penuh sagu dipikul dengan sebuah alat dalam bahasa Bgu disebut dengan Tongkiya. Tepung sagu basah yang telah dicuci diremas dengan alat peremas (kaemrun) yang dibuat dari pohon sagu. Dan sagu tersebut dimasukkan dalam karung-karung (saipin) atau dalam wadah (bae) yang dibuat dari daun nibung.
Sagu biasanya dimakan sebagai bubur (as) atau roti bakar (kaus) dengan lauk pauk dagin, ikan, kadang-kadang sayur mayur. Di daerah pedalamn di Tor, pekerjaan mencari saguadalah pekerjaan wanita dan tidak pantas orang laki-laki turut campur dalam urusan sagu.
Pada penduduk Pantai Utara, mencari ikan merupakan mata pencaharian yang sama pentingnya dengan mencari sagu. Dalam aktivitasnya mencari binatang kerang, udang, kepiting, binatang pantai, kura-kura, dan sebagainya , semuanya dimakan sebagai lauk pauk pada bubur atau roti bakar. Teknik menangkap ikan dengan tombak, jala buatan sendiri, dengan perangkap ikan atau meracun air pada orang Mentawai itu sangat lazim.
        Berburu adalah juga mata pencaharian yang penting, tetapi yang eksklusif dilakukan oleh orang laki-laki. Binatang yang diburu terutama babi, tapi kadang soa-soa, kanguru, sampai binatang kecil seperti tikus, kadal, ular, kelelawar, burung kasuari, dan lain-lain.
Berkebun juga suatu mata pencaharian bagi mereka tapi sifatnya sebagai sambilan. Produksi di Pantai Utara Irian Jaya dimuali hampir ½ abad yang lalu, waktu penduduk pulau masih dipaksa untuk bekerja bakti dalam tahun 1920 oleh Belanda. Produksi kopra dikerjakan dengan sangat sederhana. Orang hanya menunggu kelapa jatuh, dibelah dan lalu diambil isinya di tempat. Sesudah tahun 1962, produksi kopra sudah amat mundur dan masalah terbesarnya adalah transport yang efektif.

 4. Sistem Kekerabatan

Suatu rumah didiami oleh keluarga-batih. Ayah, ibu, menantu, cucu, atau saudara perempuan isteri dengan suaminya. Seorang kepala keluarga batih tercatat dalam buku gereja yang juga merupakan register desa dengan nama Kristen. Kalau mereka hendak menikah ada syarat yang penting yaitu mengumpulkan mas kawin atau krae. Yang terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang bundar disebut sebkos (bulan) sebuah kalung dari bitem, tali kulit kayu yang disebut weimoki. Adapun benda toko antara lain piring, perabot dapur bahan makanan kaleng. Selain benda-benda tersebut suatu krae jugaditambah dengan uang.

5. Religi
Walau secara resmi penduduk Pantai Utara beragama Kristen, namun dunia gaib dan akhirat masih banyak dari religi yang asli. Dalam kehidupan masyarakat penduduk desa-desa pantai utara tidak ada upacara keagamaan besar-besaran yang makan banyak biaya, tenaga, dan yang mengembangjan secara luas hubungan antara kelompok satu-satunya upacara keagamaan adalah upacara ibadah yang dilakukan penduduk dalam gereja, tiap hari Minggu dan tiap hari besar Nasrani. Dalam hal menengobservasi pengunjung gereja yang tiap-tiap hari Minggu sering berganti orangnya. Orang mendengarkan khotbah, ikut menyanyi, ikut doa, tetapi semuanya dilakukan seolah-olah seperti pekerjaan rutin dengan perasaan yang kosong.

 Saran

Kebudayaan Indonesia itu banyak sekali sudah seharusnyalah kita berbangga dan menghargai kebudayaan kita ini. Dari Sabang sampai Merauke puluhan budaya Indonesia tidak bisa terkira dan ternilai harganya. Kita sebagai generasi muda sudah seharusnya bisa membudayakan dan melestarikan kebudayaan asli Indonesia dan jangan hanya atau bisa mencontoh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma atau nilai adat ke-timur-timuran. Umumnya masyarakat Indonesia lebih bangga terhadap budaya asing yang lebih mengedepankan budaya yang bermewah-mewah dan lebih gaya tapi melupakan budaya asli. Setelah diklaim oleh bangsa lain barulah kita rebut dan ingin mempertahankannya. Hal inilah yang membuktikan bahwa masih kurangnya penghargaan dan juga penghormatan kepada budaya asli Indonesia sehingga setelah hak kekayaan intelektualnya diakui oleh orang atau bangsa lain kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sudah saatnya kita bangkit dan melestarikan budaya kita, walaupun Negara kita ini menggunakan asas demokrasi akan tetapi ada nilai-nilai yang perlu kita hormati dan junjung tinggi yaitu nilai budaya yang tidak ternilai harganya. Bangsa lain saja bisa menghargai keberanekaragaman budaya kita bahkan mereka mengakui itu tapi kenapa kita tidak bisa menghargai dan juga mempertahankanya. Jangan sampai budaya asli kita kalah atau luntur karena budaya asing yang masuk tapi juga harus bisa mempertahankan dan menjaga serta mempromosikan budaya kita agar dikenal oleh bangsa lain. Oleh karena itu nilai kebanggaan perlu kita tanamkan dan juga kita tegakkan agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya dan bisa menghargai budayanya.

Sumber :
Tulisan sendiri ( sepengetahuan )